Bursa apartemen kabarnya tengah dalam kondisi tertekan pada kuartal pertama 2024. Sejumlah faktor disebut-sebut sebagai penyebab sektor apartemen lesu di Indonesia.
Padahal, apartemen telah menjadi alternatif menarik dari hunian tradisional di Indonesia selama kurun waktu hampir dua dekade. Apartemen merupakan solusi hunian yang praktis, terlebih lagi di kawasan urban.
Khususnya, jenis properti ini hadir untuk memenuhi tingginya demand akan hunian modern di kalangan kelas menengah yang kian bertumbuh. Sayangnya, tren pembelian apartemen masih saja lesu dan belum juga menyentuh angka yang memuaskan.
Penyebab Sektor Apartemen Lesu walau Pembangunan Ngebut
Ferry Salanto, Kepala Riset Colliers Indonesia, mensinyalir jika pasar apartemen masih diterpa berbagai tantangan di tahun ini.?¹?
Menurut data Jones Lang LaSalle (JLL), 41% dari 26.000 unit apartemen yang tersedia belum terjual selama kuartal pertama 2024.?²? Beberapa penyebab sektor apartemen lesu ditengarai berkontribusi terhadap situasi ini.
1. Minat Beli Rendah
Salah satu alasan sepinya peminat apartemen adalah kurangnya antusiasme masyarakat untuk beralih dari rumah tapak ke apartemen. Banyak calon pembeli yang lebih tergiur memiliki rumah beserta tanahnya karena alasan space, privasi, dan kebebasan untuk memodifikasi atau memperluas properti.
Selain itu, faktor kultur di Indonesia juga turut andil dalam keengganan untuk membeli apartemen. Umumnya, kepemilikan landed house merupakan simbol status yang mengakar kuat. Hal ini menjadi bukti kesuksesan dan juga bentuk investasi jangka panjang.
Faktanya, banyak masyarakat kita mengasosiasikan properti ini dengan harta keluarga. Dengan kata lain, rumah tapak dipandang sebagai aset yang harapannya dapat diwariskan turun temurun.
Lebih lanjut lagi, space dan freedom yang ada pada rumah bertanah amat bernilai untuk menggelar berbagai pertemuan keluarga dan acara-acara sosial. Hal-hal tersebut begitu sentral dalam budaya kita.
Terakhir, gaya hidup komunal di lingkungan bertetangga turut memupuk kebersamaan dan kekeluargaan yang berbeda dari suasana tinggal di apartemen.
2. Konsep “Service Charge” yang Memberatkan
Penyebab lain dari melemahnya pasar apartemen di Indonesia adalah pandangan masyarakat yang kurang positif terhadap konsep “service charge”.
Pada dasarnya, “service charge” adalah biaya tambahan yang wajib dibayar tenant di luar biaya sewa pokok. Biaya ini mencakup sejumlah layanan dan maintenance dari pihak tuan tanah atau pengelola properti. Misalnya, landscaping, perawatan taman, utilitas, keamanan, dan biaya administrasi.
Sebagian besar calon pembeli dan penyewa rupanya tidak nyaman dengan beban iuran tambahan ini. Service charge bukan saja tidak perlu tetapi juga memberatkan. Apalagi di negara dengan budaya yang tidak terlalu memperhitungkan pengeluaran rutin selain utilitas dasar dan pajak properti.
Tidak hanya itu, kurangnya transparansi dan pemahaman masyarakat terkait cakupan biaya tersebut makin memicu skeptisisme dan resistensi. Konsumen pun khawatir akan ongkos-ongkos tersembunyi dan kemungkinan tarif naik sewaktu-waktu.
Hasilnya, menghuni apartemen terasa kurang stabil secara finansial daripada memiliki rumah tapak. Kegamangan ini kian menguat lantaran persepsi kalau calon pembeli mesti merogoh kocek untuk layanan yang belum tentu mereka manfaatkan.
3. Belum Menyasar Masyarakat Kelas Menengah ke Bawah
Di sisi lain, pembangunan apartemen yang dominan menyasar kelas menengah ke atas jadi faktor lain yang memengaruhi kondisi pasar. Pasalnya, developer cenderung membangun apartemen mewah dengan fasilitas premium dan lokasi strategis demi menjaring segmen kelas atas.
Akan tetapi, strategi ini justru mengabaikan segmen populasi substansial, yakni kelompok menengah ke bawah. Padahal, kalangan ini memiliki porsi besar sebagai calon pembeli rumah.
Kelas sosial ini merasa tidak mampu secara finansial mengakses properti semacam itu. Inilah sebabnya terdapat ketidaksesuaian antara supply dan demand. Orientasi pada properti high end berimbas pada minimnya unit yang terjangkau.
Di samping itu, ekonomi labil dan biaya hidup yang kian mahal juga menyulitkan kelas menengah menjangkau apartemen premium. Akibatnya, pasar penuh sesak dengan unit-unit elit. Padahal, kebutuhan masyarakat akan hunian ekonomis belum juga terpenuhi.
Karena itu, pertumbuhan sektor apartemen di tanah air cenderung mandek.
4. Varian Produk Terbatas
Rupanya banyak developer yang mengkhususkan pembangunan apartemen untuk tipe dan lokasi terbatas. Terutama, mengincar daerah urban elit dan konsumen berkantong tebal. Nah, keterbatasan variasi ini dinilai gagal menjawab tuntutan dan preferensi konsumen yang beragam.
Calon pembeli, sebetulnya mendambakan lebih banyak alternatif. Contohnya, dalam kategori harga, ukuran, dan lokasi yang bervariasi. Di antaranya unit-unit terjangkau di pinggiran kota atau kawasan yang sedang berkembang.
Ditambah lagi, aneka fasilitas dan fitur khusus menyesuaikan lifestyle yang berbeda juga banyak dicari. Misalnya, pekerja muda biasanya mencari hunian yang dekat dengan pusat bisnis.
Sementara itu, kalangan keluarga mungkin membutuhkan tempat tinggal luas yang dekat dengan area publik seperti sekolah. Di sisi lain, konsumen dari kelompok lansia cenderung menyukai hunian dengan akses mudah dan fasilitas kesehatan lengkap.
Kesimpulannya, developer masih belum berhasil memasuki segmen pasar ini lantaran belum menjajakan variasi produk secara masif.
5. Insentif PPN DTP Belum Merata
Untuk meringankan beban pembeli properti, pemerintah menggagas PPN DTP untuk apartemen siap huni. Lewat program ini, pemerintah menanggung PPN yang seharusnya pembeli bayar. Jadi, daya beli masyarakat diharapkan akan terangsang.
Dengan adanya PPN DPT, pembeli apartemen tidak perlu membayar PPN yang biasanya menjadi beban kala melakukan transaksi properti. Alhasil, harga yang harus dibayar menjadi lebih murah.
Sayangnya, kebijakan PPN DPT ini baru berlaku untuk apartemen siap huni. Karenanya, aturan ini menyurutkan niat calon pembeli untuk berinvestasi di unit yang akan segera dibangun.
Toh, masyarakat tidak bisa menikmati keuntungan dari PPN DPT tersebut. Pada akhirnya, biaya yang harus mereka tanggung akan lebih tinggi.
Aksi Strategis Menyeluruh untuk Atasi Sektor Apartemen Lesu
Salah satu langkah jitu yang bisa ditempuh developer untuk mendongkrak penjualan apartemen yaitu dengan melakukan diversifikasi produk.
Seperti yang sudah disinggung di atas, developer mestinya membuka lebih banyak jenis apartemen guna memenuhi segmen pasar berbeda. Contohnya, unit-unit affordable untuk pembeli kelas menengah dan menengah ke bawah.
Dan yang tidak kalah penting adalah ukuran dan layout apartemen yang variatif juga wajib hadir. Tujuannya sudah pasti untuk menarik minat konsumen dari berbagai latar belakang.
Faktanya, Wiraland telah merangkul pendekatan ini sejak awal terbentuk. Kami percaya semua individu berhak untuk mendiami hunian yang nyaman. Wiraland menawarkan aneka properti karena menyadari beragamnya kebutuhan dan kemampuan finansial konsumen.
Sebagai contoh, proyek River Valley Resort kami ada untuk konsumen dengan anggaran terbatas. Di sisi lain, Halton Place cocok bagi Anda yang mengutamakan kemewahan dengan fasilitas premium di satu tempat.
Dengan menerapkan strategi inklusif ini, kami berharap setiap orang dapat mengakses hunian kami.
Jika Anda stakeholder atau developer yang ingin berdiskusi lebih lanjut mengenai penyebab sektor apartemen lesu, atau konsumen yang sedang mencari-cari solusi hunian terjitu, hubungi kami sekarang.